Jakarta – Gelombang tuntutan kenaikan Upah Minimum (UM) 2026 dipastikan akan dibarengi dengan aksi massa. Namun, kali ini fokus utama aktivis buruh adalah pada penegasan kepatuhan hukum dan konstitusionalitas aksi mereka, merujuk pada ketentuan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
Salman, salah satu aktivis FBTPI menekankan bahwa aksi unjuk rasa adalah pelaksanaan hak demokrasi yang dijamin UUD 1945, tetapi hak tersebut tunduk pada batasan ketertiban umum.
“Kami berpegang teguh pada UU No. 9 Tahun 1998. Aksi kami adalah perjuangan hukum, dan kami tidak akan melanggar hukum,” ujarnya.
Penekanan pada aspek yuridis ini berfungsi sebagai mitigasi risiko terhadap potensi stigma anarkisme. Serikat pekerja menjamin bahwa tidak akan ada perusakan, intimidasi, atau tindakan yang mengganggu Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas).
Mereka juga menyelaraskan tuntutan upah dengan prinsip keadilan prosedural. Desakan agar formula UM transparan dan berbasis data KHL yang aktual dianggap sebagai bentuk penegakan hukum dalam kebijakan pengupahan.
Terkait iklim investasi, Salman menyatakan bahwa stabilitas hukum dan sosial yang dijaga oleh aksi damai mereka adalah jaminan yang lebih baik bagi investor daripada penetapan upah yang menekan. Pekerja yang merasa dihargai secara hukum dan ekonomi akan lebih produktif.
Ia menyerukan Pemerintah untuk menghargai komitmen aksi damai ini dengan merespons tuntutan UM 2026 secara substantif.
“Buruh berharap dialog dapat menghasilkan keputusan upah yang mencerminkan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warga negaranya,” tutup Salman.

Tinggalkan Balasan