Jakarta – Meningkatnya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan khususnya di lingkungan kampus membuat para Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa dan AKtivis Perempuan (FMAP) menggelar acara diskusi publik menyikapi permasalahan tersebut dengan mengangkat tema “Kampus Tanpa Kekerasan Seksual”.
Diskusi publik tentang kekerasan seksual dalam ranah kampus menggali berbagai aspek, mulai dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan kampus hingga upaya pencegahan dan perlindungan bagi korban yang dihadiri oleh puluhan Mahasiswi maupun Mahasiswa dari berbagai Universitas di Jakarta dan diskusi tersebut digelar di JJ Cofffe Jakarta, Sabtu (10/02).
Para peserta diskusi menyadari bahwa kekerasan seksual di kampus merupakan masalah serius yang mempengaruhi banyak mahasiswa, baik secara fisik maupun psikologis. Dimana baru-baru ini terjadi kasus kekerasan seksual di kampus Universita Indonesia (UI) yang dilakukan oleh Sdr. Melki yang juga merupakan Eks Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI.
Aktivis perempuan dari Universitas Islam Jakarta (UIJ) Putri menyampaikan meskipun pelaku, Melki sudah dapat hukuman skorsing 1 tahun dan dinonaktifkan menjadi Ketua BEM UI.
“Namun itu tidak setimpal, terlebih bagi si korban yang proses penyembuhannya membutuhkan waktu lama, seharusnya pihak-pihak terkait memberian hukuman setimpal dengan perbuatan pelaku,” ungkap Putri.
Adapun solusi yang diajukan mencakup peningkatan pendidikan seksual yang inklusif, penguatan kebijakan kampus yang melindungi korban, pentingnya akses terhadap layanan kesehatan.
“Dan perlunya peran aktif lembaga penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus serta dukungan emosional dari komunitas terhadap korban kekerasan seksual,” sambungnya.
Alumni Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor Fitri menyampaikan bahwa tindakan kekerasan seksual biasanya terjadi karena pelaku merasa dirinya mempunyai Power, kekuasaan ataupun jabatan, seperti yang dilakukan oleh Melki yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), tindakan pelaku tersebut sangat melecehkan organisasi dan dapat mencemarkan nama baik kampus itu sendiri.
“Hukuman terhadap pelaku berupa skorsing 1 Semester dan dinonaktifkan sebagai Ketua BEM Univesitas Indonesia (UI) yang dilakukan oleh Pihak kampus itu tidak setimpal dengan perbuatan pelaku terlebih bagi korban yang akan mengalami depresi bahkan bisa menjadi aib ataupun momok bagi si korban yang proses penyembuhannya itu butuh waktu lama, tidak cukup 1 atau 2 tahun,” kata Fitri lagi.
Menurut Fitri, hukuman terhadap Melki (Ketua Nonaktif BEM UI) dianggap hanya sebagai sanksi sosial dan khawatir jika kasus tersebut tidak diproses secara pidana akan berdampak terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus.
“Dan akan ada Melki-Melki lain selanjutnya yang memanfaatkan jabatannya baik di lingkungan kampus atau organisasinya untuk melakukan kekerasan seksual,” ucapnya.
“Sebagai Mahasiswa kita tidak bisa diam saja, kita harus sosialisasikan ataupun menyuarakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Melki, Ketua non-aktif BEM UI untuk setidaknya ada sanksi pidana yang diterima oleh pelaku agar ada efek jera dan juga perlindungan untuk korban,” pesan Fitri yang merupakan aktivis perempuan.
Fitri juga melihat adanya kejanggalan, diluar sana ketika seseorang melakukan kekerasan seksual maka akan mendapat hukuman pidana, sementara Melki (Ketua BEM UI) hanya diskorsing 1 semester dan itu tidak fair.
“Padahal saat ini sudah ada Undang-Undang No.12 /2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, untuk itu pelaku harus diberi sanksi pidana sesuai Undang-undang yang berlaku,” tegas Fitri.
Dia pun menghimbau kepada masyarakat yang menjadi korban agar berani dan jangan takut untuk melapor kepada pihak / instansi terkait.
“Saat ini sudah banyak tempat untuk melapor, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang menyediakan wadah, fasilitas untuk korban kekerasan Seksual serta jangan mentolelir hukuman untuk pelaku kekerasan seksual,” pungkasnya.