Latar Belakang
Kebijakan iklim dan lingkungan -terutama percepatan transisi energi dan penghentian deforestasi sebagai sumber penghasil emisi terbesar- merupakan agenda penting dan mendesak bagi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga kepada manusia, ekonomi, dan kesejahteraan. Sebagai contoh, Inflasi iklim (climateflation) merupakan inflasi yang disebabkan perubahan iklim, misalnya kenaikan harga pangan dan ongkos pengadaan air bersih.

Sementara itu, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil menyebabkan fossilflation yaitu inflasi yang disebabkan kenaikan bahan bakar fosil. Fossilflation juga memberikan tekanan fiskal, terutama bagi negara pengimpor bahan bakar fosil. Contoh nyata adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk mengelola inflasi padahal di tahun 1970-an dan paruh pertama 1980-an, ekspor minyak bumi merupakan sumber utama penerimaan negara. Sementara itu deforestasi akan berdampak pada ketersediaan air bagi sektor pertanian yang merupakan sektor ekonomi dengan kontribusi terbesar bagi penyediaan lapangan kerja dan ketahanan pangan.

Pembiayaan merupakan tantangan utama untuk melaksanakan kebijakan iklim dan lingkungan, terutama berkaitan dengan ruang fiskal yang terbatas dan kebutuhan Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Transisi energi, misalnya, memerlukan pembiayaan yang besar dan hal tersebut akan berhadapan dengan keterbatasan fiskal dan “kompetisi” alokasi belanja di dalam APBN dengan beberapa program prioritas pemerintah. Kebijakan iklim dan lingkungan juga tidak boleh memiliki implikasi negatif terhadap lapangan kerja, usaha pemberantasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.

Agenda Iklim dan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan
1. Pemerintahan Presiden Prabowo harus menerapkan kebijakan pro-iklim dan lingkungan dalam bentuk pembangunan rendah karbon karena hal tersebut merupakan syarat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan.
2. Pemerintah harus melakukan reformasi fiskal dan pembiayaan yang inovatif bagi kebijakan pro-iklim dan lingkungan yang tidak membebani fiskal dan publik dan jangka panjang akan menjadi fondasi untuk menciptakan Indonesia maju.

Rekomendasi strategis
Presiden Prabowo harus memimpin implementasi kebijakan berikut:
1. Pembangunan rendah karbon melalui penghentian deforestasi dan percepatan transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
2. Peningkatan produksi sawit dilakukan melalui intensifikasi bukan melalui deforestasi.
3. Peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat dan efisiensi energi sebesar 2,5 kali lipat di tahun 2030.
4. Pembiayaan transisi energi (pembangunan jaringan transmisi dan distribusi, pengembangan energi terbarukan, dan pengembangan rantai pasok) dapat dilakukan dari peningkatan pungutan produksi batu bara yang dapat menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 84 triliun-Rp 353 triliun pertahun (Sustain, 2024).

5. Penerapan pajak karbon untuk PLTU batu bara untuk mempercepat realokasi sumber daya -terutama investasi dan pembiayaan- dari PLTU ke batu bara ke energi bersih dan terbarukan.
6. Pembiayaan hutan melalui beragam skema pembiayaan, termasuk perdagangan karbon dengan tata kelola yang baik dan harga yang tepat.
7. Dukungan penuh terhadap investasi untuk pengembangan energi terbarukan, baik penelitian dan pengembangan, industri manufaktur, maupun pembangkit energi terbarukan, yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang berarti.
8. Penguatan peran sebagai pemimpin negara-negara Selatan di forum internasional untuk mendorong penerapan “polluter pays principle” untuk mitigasi, adaptasi, dan penggantian kerugian dan kerusakan yang disebabkan perubahan iklim oleh negara-negara maju.