SURABAYA – Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang saat ini tengah digodok oleh Pemerindah dan DPR RI dipandang bermasalah oleh Federasi KontraS. Pasalnya, RUU tersebut memuat pasal yang membuka ruang pelibatan TNI dalam penegakan hukum siber. RUU tersebut gagal membedakan secara tegas peran defensif TNI dan fungsi penegakan hukum sipil, sehingga harus direvisi untuk memperkuat supremasi sipil.
“Definisi ancaman siber yang digunakn dalam RUU KKS terlalu luas, hal ini akan memicu perluasan kewenangan militer dalam urusan sipil yang selanjutnya akan mengancam hak-hak fundamental warga,” ujar Andy Irfan, Sekjend Federasi KontraS, Jumat (5/12/2025).
Andi Irfan menegaskan, pada intinya militer tidak boleh diberi kewenangan pro-justitia di ranah sipil. Karena itu, penyidikan siber harus tetap berada dalam kendali penegak hukum sipil untuk menjaga prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan perlindungan HAM.
Federasi KontraS memandang, kata Andi Irfan, bahwa pembukaan ruang bagi TNI untuk bertindak sebagai penyidik dalam ranah siber merupakan bentuk pelemahan serius terhadap supremasi sipil dan prinsip rule of law. Dalam sistem hukum Indonesia, fungsi penegakan hukum (termasuk penyidikan tindak pidana) secara tegas berada pada institusi sipil seperti Polri dan lembaga penegak hukum lainnya.
“Ketentuan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi merupakan pilar fundamental demokrasi modern: militer harus tunduk pada kontrol dan akuntabilitas sipil,” tegasnya.
Menurutnya, pelibatan TNI sebagai penyidik siber akan menciptakan overlapping kewenangan yang rawan penyalahgunaan (abuse of power), mengaburkan rantai komando, dan memperbesar peluang terjadinya impunitas, karena mekanisme pengawasan militer tidak terbuka bagi publik.
Dalam perspektif HAM, ujarnya, hal ini bertentangan dengan standar internasional seperti prinsip-prinsip dasar PBB tentang peran aparat penegak hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan oleh institusi yang mekanisme akuntabilitasnya transparan, independen, dan memungkinkan kontrol publik.
Selain itu, proses penyidikan yang secara sistematis akan melibatkan penggunaan kewenangan koersif negara (mulai dari pemanggilan, penyitaan data, hingga penahanan), secara keseluruhan menuntut jaminan due process of law, akses bantuan hukum, serta perlindungan atas privasi dan kebebasan berekspresi. Struktur peradilan militer yang tertutup serta ketiadaan mekanisme civilian oversight menjadikan TNI tidak memenuhi standar tersebut.
“Dengan demikian, jika pada RUU KKS tetap membuka ruang bagi TNI sebagai penyidik siber, maka hal itu bukan hanya bertentangan dengan konstitusi dan kerangka hukum nasional, tetapi juga berpotensi menggerus prinsip supremasi sipil, memperlemah akuntabilitas publik, serta meningkatkan risiko pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum di ranah siber,” ucapnya.
Berdasarkan KUHAP yang baru disahkan, TNI AL diakui sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu di laut karena spesifikasinya. Namun, Andi Irfan memandang, memposisikan TNI AL sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu di laut tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan perluasan peran TNI dalam penyidikan siber.
“Analogi ini bukan hanya keliru secara teknis, tetapi juga berbahaya karena mengaburkan prinsip fundamental dalam demokrasi: bahwa penegakan hukum adalah domain institusi sipil yang tunduk pada mekanisme akuntabilitas publik,” ungkapnya.
Dari perspektif Federasi KontraS, katanya, pemerintah belum konsisten menjaga batas-batas fundamental Trias Politica dalam isu siber. Sama seperti kritik pada bagian sebelumnya terhadap RUU KKS yang memberi ruang multitafsir bagi TNI dalam operasi siber.
Pemisahan Peran sebagai Skema Ideal
Andi Irfan memandang, model ideal pembagian tugas antara TNI dan Polri adalah pemisahan peran secara tegas sesuai fungsi konstitusional. TNI menangani aspek pertahanan, sementara Polri/PPNS menangani aspek penegakan hukum, meski keduanya tetap dapat berkoordinasi dalam batas tertentu.
Menurutnya, TNI berperan pada level strategic cyber defense, bukan penegakan hukum. Fokus TNI semestinya pada pencegahan dan mitigasi serangan siber dari aktor negara atau ancaman yang dikategorikan sebagai agresi atau ancaman kedaulatan, perlindungan infrastruktur pertahanan, dan deteksi dini pada ancaman yang mengarah pada perang atau sabotase militer.
“Polri dan PPNS menjalankan penyidikan penuh. Untuk semua tindak pidana siber (termasuk yang menyerang infrastruktur kritis) penyidikan tetap harus berada di tangan Polri (domain penegakan hukum nasional),PPNS sektoral (kominfo, energi, transportasi). TNI dapat memberikan dukungan teknis jika diminta, tetapi tidak boleh melakukan penyidikan, interogasi, penyitaan, maupun penangkapan,” terangnya.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan