Jakarta – Pengamat politik Ray Rangkuti menegaskan reformasi Polri tidak dapat dilakukan secara parsial. Menurutnya, perubahan harus menyentuh tiga dimensi utama sekaligus yakni institusional, struktural, dan kultural. Tanpa bergerak bersamaan, perbaikan Polri hanya akan menjadi slogan tanpa hasil nyata.

Ray menilai aspek institusional selama ini sering kali “disampingkan atau dibesarkan” tanpa arah yang jelas.

“Pembenahan institusi harus memastikan Polri memiliki struktur yang efisien, bukan memperbesar lembaga tanpa memperbaiki tata kelola,” kata Ray.

Ray menekankan bahwa aspek struktural tidak kalah penting. Struktur kekuasaan di tubuh Polri, menurutnya, sangat menentukan arah dan integritas lembaga tersebut.

Ia menyoroti beberapa hubungan yang membutuhkan penataan. Salah satunya posisi Polri dalam relasi dengan kementerian dan lembaga lain.

Struktur yang tidak sehat membuat Polri sulit bekerja secara profesional dan independen.

“Macam-macam itu struktural semua,” ujarnya.

Bagi Ray, pilar kultural adalah yang paling penting dan paling mendasar.

Ia menyebut perlunya mengembalikan nilai-nilai dasar kepolisian yang selama ini memudar.

Tiga nilai utama yang harus diperkuat adalah Kultur Antikorupsi, Antisuap dan Mengayomi Masyarakat.

Menurut Ray, budaya korupsi masih menjadi hambatan besar dalam penegakan hukum. Banyak kasus, terutama yang melibatkan pengusaha atau kelompok berpengaruh tidak pernah dijerat.

“Penanganan kasus tidak boleh dijadikan ruang untuk meras atau mencari keuntungan pribadi.

Kepolisian harus menegakkan hukum berdasarkan prinsip objektif, bukan transaksi,” ujarnya.

Ray menilai kultur mengayomi sebenarnya pernah kuat di tubuh kepolisian, namun kini makin melemah.

Ia mendorong agar Polri kembali ke prinsip dasar melindungi dan melayani masyarakat, bukan sebaliknya.

Ray juga mengingatkan bahwa objektivitas adalah indikator utama kultur yang sehat.

Penegakan hukum tidak boleh dibedakan berdasarkan status sosial atau kekuatan ekonomi.

“Objektif, nggak peduli siapapun, kalau salah ya salah aja,” kata dia.

Lebih lanjut, ia menilai pembahasan Reformasi Polri tidak bisa dilepaskan dari RKUHAP yang baru disahkan.

Ray menyebut RKUHAP memberi kewenangan yang lebih besar kepada Polri, khususnya dalam proses penegakan hukum yang rentan menyentuh langsung kebebasan warga negara.

Dalam konteks kultur yang belum stabil, perluasan kewenangan justru berpotensi memperluas penyimpangan.

Menurut pendapat Ray, Polri akan lebih bijak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 Tahun 2025 terlebih dahulu daripada mengeluarkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 terlebih dahulu.

Adapun putusan MK Nomor 114 Tahun 2025 terkait larangan anggota polisi aktif menduduki jabatan di luar institusi Polri.

Sedangkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 mengatur mekanisme penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi Polri.