Jakarta– Pemerintah secara resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, sebagai bagian dari upaya memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap penguasaan kawasan hutan secara ilegal di seluruh wilayah Indonesia.

Perpres ini menegaskan komitmen negara dalam menata kembali kawasan hutan negara, terutama yang saat ini dikuasai tanpa dasar hukum yang sah, baik oleh perseorangan maupun korporasi. Dalam ketentuan baru ini, pemerintah membentuk Satuan Tugas Terpadu (Satgas Penertiban Kawasan Hutan) yang melibatkan unsur lintas kementerian dan lembaga, termasuk TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian ATR/BPN.

“Langkah ini penting untuk mengakhiri praktik-praktik perambahan kawasan hutan yang telah berlangsung lama, merusak lingkungan, dan menimbulkan ketimpangan penguasaan lahan,” ujar Ketum STN Ahmad Rifai.

Serikat Tani Nelayan (STN) menilai Perpres ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan yang lahannya belum memiliki kejelasan status kawasan akibat belum tuntasnya proses pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah.
STN juga merasa khawatir jika Peraturan Presiden ini justru dimanfaatkan untuk membenarkan relokasi paksa terhadap Masyarakat Adat yang secara turun-temurun tinggal di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara, meskipun mereka memiliki dasar hukum adat atas wilayah tersebut. Peraturan ini juga harus dilihat dalam konteks percepatan penetapan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan, yang dalam praktiknya sering menuai penolakan dari Masyarakat Adat karena dilakukan tanpa melibatkan partisipasi yang bermakna.
Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa penertiban kawasan hutan merupakan bagian dari strategi nasional untuk mengurangi deforestasi, mendukung komitmen iklim global, serta memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan.