Jakarta – Protes hukum PT KIBK terhadap panitia lelang proyek pembangunan Jembatan Periangan dan Jembatan Pawan VI di Kabupaten Ketapang, kalimanatan Barat, kini berbuntut panjang. Setelah somasinya diabaikan, perusahaan itu resmi melaporkan dugaan rekayasa tender kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Dalam laporan tersebut, PT KIBK menuding adanya penyimpangan serius dalam proses evaluasi penawaran yang dilakukan oleh panitia pengadaan.

Langkah PT Karya Inti Bumi Konstruksi (KIBK) ini menuai simpati dari sejumlah kalangan termasuk Studi Demokrasi Rakyat (SDR). Hari Purwanto, Direktur Eksekutif SDR, menilai bahwa kasus ini tidak bisa dianggap hanya sebagai sengketa tender biasa.

Menurutnya, dari dokumen yang beredar, terdapat indikasi kuat pelanggaran prinsip dasar pengadaan: transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. “Kalau ada panitia yang secara sengaja mengatur hasil evaluasi agar menguntungkan peserta tertentu, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi bisa masuk kategori korupsi,” ujarnya, Senin (3/11) dalam keterangan tertulis.

Dia menilai, panitia tender terindikasi tengah mempraktikan modus klasik korupsi pengadaan barang. Praktik persekongkolan vertikal—hubungan tersembunyi antara panitia pengadaan dan peserta tender—bukan fenomena baru. Namun yang mengkhawatirkan, modusnya kini semakin canggih.

Berkas administrasi disusun rapi, proses evaluasi tampak formal, tapi keputusan sudah diskenariokan sejak awal. “Ini yang saya sebut sebagai “tender yang dapat dipesan”: proyek publik yang sudah memiliki pemenang sebelum persaingan dimulai,” ujar Hari.
Indikasinya jelas, bagaimana tahapan demi tahapan proses tender ini telah dijalankan sesuai dengan prosedur yang layak dan sesuai dengan aturan.

Namun, anehnya setelah PT KBIK memenangi seluruh tahapan, tiba-tiba panitia melakukan sabotase dengan membatalkan sepihak pemenang tender. Dimana Pengguna Anggaran (PA) mengambil keputusan evaluasi ulang setelah 13 hari kerja tidak tercapainya kesepakatan antara KPA dan Pokja.

KPA melalui suratnya kepada pokja pada tanggal 22 September 2025 meminta tambahan waktu menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) tidak direalisasi bahkan bertolakbelakang.

“Panitia lelang tidak memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan sabotase ataupun embargo terhadap pemenang tender. Apalagi terhadap prosedur yang telah dilalui secara layak dan sesuai SOP,” ujar Hari.

Hari menambahkan, kondisi semacam inilah merusak sendi keadilan dan efisiensi negara. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan malah menjadi sumber rente bagi segelintir orang. “Lebih berbahaya lagi, praktik semacam ini membunuh kompetisi sehat antar penyedia, karena semua tahu hasilnya bisa “diatur” oleh siapa yang punya akses ke pejabat pengadaan,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, tindakan seperti itu dapat dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menegaskan bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat yang menimbulkan keuntungan bagi pihak tertentu dan merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi.

“Unsur-unsurnya cukup jelas, panitia lelang adalah pejabat publik, mereka punya kewenangan administratif. Kalau kewenangan itu digunakan untuk berpihak atau menyeleweng dari prosedur, maka unsur abuse of power terpenuhi,” ujar Hari.

Lebih lanjut, Hari menekankan pentingnya penyidik Kejati Kalimantan Barat melakukan penyelidikan mendalam. “Kejati perlu menelusuri hubungan antara panitia dan pemenang tender, aliran komunikasi, serta potensi keuntungan yang diperoleh. Jika terbukti ada kolusi, itu bisa masuk pasal persekongkolan pengadaan,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa persekongkolan vertikal antara pejabat dan penyedia merupakan salah satu modus korupsi yang paling sering terjadi di sektor pengadaan.

“Biasanya, manipulasi dimulai dari tahap evaluasi hingga penetapan pemenang. Di atas kertas tampak formal, tapi substansinya sudah diatur sejak awal.”

Dalam konteks ini, laporan PT KIBK menjadi momentum penting bagi aparat penegak hukum untuk membenahi sistem tender di daerah. “Kalau Kejati serius, kasus ini bisa jadi pintu masuk untuk membersihkan praktik rente di birokrasi pengadaan,” katanya menegaskan.