Jakarta – Perbedaan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus gugatan terkait larangan jabatan sipil bagi institusi TNI dan Polri kembali memicu perdebatan publik. Jurnalis senior Darmawan Sepriyossa menilai, adanya kesan “ketimpangan putusan” tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor waktu dan kesiapan regulasi, bukan semata perbedaan standar hukum.

Menurut Darmawan, dalam kasus Polri, landasan hukum yang melarang anggotanya menduduki jabatan sipil telah jauh lebih tegas, sehingga memiliki daya ikat yang lebih kuat.

“Kalau soal Polri, larangannya itu sudah jelas, tegas, dan para ahli tata negara sudah sepakat bahwa itu bersifat mengikat dan harus segera dijalankan,” ujar Darmawan.

Ia menyebut, saat ini sudah terbentuk tatanan hukum yang mengharuskan para perwira tinggi Polri yang menjabat di posisi sipil untuk dikembalikan ke fungsi asal. Bahkan, jumlah pejabat Polri yang terdampak disebut mencapai ribuan.

“Ada sekitar empat ribu lebih, 4.100 sampai 4.300-an, saya lupa persisnya, tapi jumlahnya besar. Itu menunjukkan bahwa arah kebijakannya memang harus dikembalikan ke relnya,” katanya.

Lebih jauh, Darmawan menilai bahwa pelarangan tersebut bukan hanya soal aspek keadilan, tetapi juga menyangkut profesionalisme dan kapabilitas.

“Polisi itu dididik untuk menjadi polisi. Mereka tidak disiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Lebih adil dan lebih sehat kalau semua ditempatkan sesuai kapasitas dan keahliannya masing-masing,” tegasnya.

Ia menilai, perbedaan hasil putusan MK antara perkara TNI dan Polri tidak bisa serta merta disebut sebagai standar ganda, melainkan bagian dari dinamika waktu, kesiapan hukum, dan tekanan publik yang berbeda.

“Ini bukan soal pilih kasih, tapi soal fase dan momentum. Tapi ke depan, yang paling penting, jangan ada tumpang tindih peran antara sipil dan aparat bersenjata,” tutup Darmawan.