Jakarta — Ketua Umum Forum Generasi Berencana (GenRe), I Putu Arya Aditia Utama, menilai Generasi Z (Gen Z) menghadapi tantangan serius di tengah masifnya arus informasi digital. Ia menyebut kondisi tersebut sebagai fase burn out society, yakni kelelahan mental akibat paparan informasi yang serba cepat dan instan.
Menurut Arya, ruang digital memang membuka peluang besar bagi anak muda untuk berekspresi dan berpartisipasi, namun juga memicu kelelahan emosional dan kognitif. Dampaknya, Gen Z dinilai lebih rentan terpapar hoaks, disinformasi, hingga narasi provokatif yang belum terverifikasi.
“Ketika seseorang berada dalam kondisi lelah secara emosional, kemampuan memilah informasi menurun. Di situ hoaks dan propaganda lebih mudah masuk,” kata Arya.
Ia menjelaskan, kebiasaan doomscrolling atau mengonsumsi informasi singkat secara berlebihan di media sosial turut memicu fenomena brain rot, yaitu kondisi ketika seseorang merasa memahami suatu isu secara utuh padahal hanya berdasarkan potongan informasi.
Selain itu, Arya juga menyoroti fenomena incel (involuntary celibate) yang mulai menguat di kalangan remaja sejak pandemi Covid-19. Fenomena ini merujuk pada kelompok anak muda yang mengalami keterasingan sosial, minim interaksi langsung, serta kerap menjadi korban perundungan.
“Isolasi sosial dan bullying dapat mendorong remaja mencari pelarian di ruang digital, yang pada akhirnya membuat mereka rentan terhadap doktrin ideologi ekstrem,” ujarnya.
Arya menegaskan, berbagai kasus kekerasan yang melibatkan remaja tidak bisa dilihat semata sebagai kesalahan individu. Ia menilai Gen Z kerap menjadi korban dari sistem yang belum mampu menyediakan ekosistem digital, sosial, dan ekonomi yang sehat.
“Gen Z bukan semata pelaku, tetapi juga korban dari tekanan ekonomi, sosial, dan lemahnya tata kelola ruang digital,” katanya.
Meski demikian, Arya menilai Gen Z memiliki potensi besar sebagai kekuatan sosial. Ia mencontohkan berbagai gerakan kolektif di ruang digital yang berhasil mendorong solidaritas publik, penggalangan donasi, hingga advokasi isu sosial.
Menurutnya, keberanian bersuara, idealisme, dan kemampuan membangun gerakan kolektif merupakan kekuatan Gen Z yang perlu diarahkan secara positif.
Ia menekankan pentingnya penguatan literasi digital serta kemampuan mengatur penggunaan media sosial, termasuk keberanian untuk mengambil jeda. Membaca disebut sebagai salah satu cara menjaga kejernihan berpikir di tengah kebisingan digital.
Di sisi lain, Arya mendorong platform digital untuk lebih bertanggung jawab dalam menyaring konten hoaks, ujaran kebencian, dan narasi intoleran, tanpa mengesampingkan prinsip kebebasan berekspresi.
“Ruang digital di Indonesia masih perlu dibenahi agar menjadi lingkungan yang lebih aman bagi anak muda,” ujarnya.
Dalam konteks demokrasi, Arya menilai Gen Z perlu tetap kritis dan vokal, namun dengan cara yang kreatif dan damai. Ia menyebut konsep “berisik tapi asik” sebagai bentuk partisipasi publik yang konstruktif.
“Bersuara penting sebagai fungsi kontrol, tetapi harus dilakukan tanpa kekerasan dan tindakan anarkis,” kata Arya.
Melalui Forum GenRe, ia menyebut pendekatan peer-to-peer atau antarteman sebaya menjadi strategi utama dalam merangkul Gen Z. Pendekatan ini dinilai lebih efektif dibandingkan metode yang bersifat menggurui atau represif.
“Tidak ada anak muda yang ingin berbuat jahat. Yang sering terjadi adalah keterbatasan akses dan informasi. Karena itu, edukasi dan pendampingan menjadi kunci,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan