Jakarta – Wasekjen Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI 98) Donny Fraga Wijaya mengkritisi pengesahan RUU Kejaksaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) pada Desember 2024 lalu.

Pasalnya, RUU KUHAP sebagai acuan sistem penegakan hukum di Indonesia belum selesai dibahas, bahkan belum disahkan oleh DPR RI.

Menurutnya, Kejaksaan telah melakukan overlapping terhadap kewenangan penyelidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan.

“Pasal lainnya yakni 30B huruf a UU Kejaksaan yang ambigu. Tidak ada definisi jelas soal ruang lingkup intelijen penegakan hukum. Kekaburan itu bisa menjadi celah kejaksaan mengintervensi kewenangan penyelidikan kepolisian,” katanya.

Selain melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri, kata Donny, jaksa juga bisa mengintervensi penyidikan yang dilakukan kepolisian. Jaksa bebas menentukan kapan suatu perkara naik penyelidikan dan penyidikan serta kapan suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan.

Bahkan jaksa dapat menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan yang menjadi kewenangan kehakiman.

“Bahaya sekali ini disalahgunakan bisa dipake untuk kepentingan terselubung baik intervensi politik, pribadi, maupun kasus-kasus lain yang menyangkut elit politik. Rawan kalau begini,” katanya.

Dia pun mendukung netizen tanah air yang ramai menolak asas dominus litis melalui petisi online. Hingga sore hari ini, petisi tersebut telah ditanda tangani oleh hampir 40 ribu orang.

“Asas dominus litis ini memberikan kewenangan besar kepada jaksa untuk menentukan nasib suatu perkara. Dan kewenangan ini dapat disalahgunakan. Misalnya, keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan penuntutan dapat dipengaruhi oleh tekanan politik, kepentingan pribadi, atau korupsi. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan transparansi dalam sistem peradilan pidana,” bebernya.

“Kita akan serukan untuk pertahankan tatanan Negara dengan menolak asas Dominus Litis,” tambahnya.

Oleh karena itu, kata dia, diperlukan reformasi sistem hukum, termasuk mekanisme judicial review dan peningkatan akuntabilitas, untuk memastikan keadilan tetap terjaga.

“Asas Dominus Litis di luar (negeri) tidak cocok diterapkan pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, karena perbedaan perbedaan pada sistem hukum,” tukasnya.